KEKUATAN HATI YANG TERBUKA

1:28 AM

Ketika saya masih gadis di rumah pendeta, orang datang berbondong-bondong membawa kesulitan, kegembiraan dan harapan mereka.
Pada suatu hari,dari tenggeran saya yang paling saya sukai yaitu di atas cabang pohon poplar, saya melihat seorang gadis berjalan lesu sepanjang trotoar. Dia memakai sepatu yang solnya sudah aus, merah oleh debu tanah liat yang terdapat di daerah kampung halaman saya Noova Scotia, lipsticnya terlalu merah untuk mukaya yang kelelahan. Saya menduga gadis ini pasti bekerja di pabrik pengalengan udang di antai Teluk sejauh lima mil, dan tentu saja dia berjalan sepanjang jarak yang sejauh itu. Gadis ini membunyikan lonceng dan tidak kelihatan lagi.
            Satu jam kemudian, dia keluar ke muka rumah bersama ibu saya. Suara gadis ini, yang terdengar bercampur tangis terdengar sampai ke telinga saya : “memang jaraknya jauh sekali. Tapi saya harus berbicara kepada orang yang bisa memahami, dan kau memahami. Saya akan berjalan lagi ke sini bila perlu.” Saya memikirkan keadaan orang yang sudah dewasa dan sesuatu yang sangat menyakitkan hati sehingga mendorong orang untuk berjalan sejauh lima mil supaya bisa membicarakannya.
            Para psikiater mengatakan kepada kita bahwa banyak orang yang bertindak sampau sedemikian jauh dan bahkan lebih dari itu hanya supaya bisa didengarkan kata-katanya dan dipahami. Kebanyakan dari kita hidup di atas pulau-pulau kecil yang saling terpisah dengan lainnya.kita ingin sekali membicarakan kesepian dan kesedihan kita, tetapi kita juga ingin membicarakan kegembiraan serta keajaiban-keajaiban dan penemuan. Sebagai anak-anak kita berlari-lari mendapatkan ibu kita untuk memperlihatkan seekor beludru yang baru ditangkap, atau sekuntumbunga kecil yang kita temukan di hutan. Seseorang harus ikut melihat; seseorang juga harus ikut merasa takjub sebagaimana kita merasa takjub. Sebagai seorang dewasa hati kita tergerak oleh sonata yang indah, dan kita mencari sesorang yang bisa sama-sama menikmati keindahan itu.
            Apa yang lebih menyenangkan daripada benar-benar bisa bicara dengan seseorang, benar-benar mengenal seseorang?  Jika dua orang benar-benar berbicara dengan bahasa lainnya, mereka mengeluarkan jiwa dari tempat persembunyiannya, dan kehidupan dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Komunikasi memang mata rantai yang mempersatukan kita dengan sesamam manusia. Ketika hal itu terjadi, itu seperti mukjizat karena jarang sekali terjadi. Mungkin anda masih ingat kisah seorang lanjut usia dari Vermont yang duduk lama sambil berdiam diri di serambi rumahnya bersama isterinya yang berumur 50 tahun, kemudian tiba-tiba tercerus kata-kata dari mulutnya, “Kadang-kadang, kalau kupikkirkan betapa kau sangat berarti bagiku selama berthun-tahun ini, yang bisa kulakukan hanya menahan diri untuk tidak mengatakannya kepadamu.”
            Dalam diri kita semua ada pengalaman hidup yang terkurung di dalam batin dan hampir-hampir tidak dikenal bahkan oleh diri kita sendiri – hampir-hampir tidak dikenal karena jika kita tidak bisa mengatakan apa yang kta rasakan, kita sendiri tidak dapat memahaminya, apalagi menjelaskannya kepada orang lain. Dengan cara yang sangat nyata, kita adalah apa yang bida kita katakan. “Kita menjadi sadar sepenuhnya,” kata psikiater Paul Tournier, “hanya mengenai apa yang bisa kita nyatakan kepada orang lain.”
            Sebaliknya, jika kita dapat menemukan kata-kata untuk apa yang menyulitkan kita, jka kita bisa menyampaikan kemarahan dan cinta kita kepada orang lain, betapa ketegangan kita akan mengendur! Agaknya merupakan hukum kehidupan bahwa hati manusia hanya bisa menampung hal-hal yang terbatas tanpa suatu cara untuk melepaskannya,. Pikiran kitam perasaan kita, tidak akan selamanya bisa menanggung hal-hal yang tidak dinyatakan; dan pelepas ketegangan yang paling baik adalah saluran yang dibuat di dalam struktur kehidupan kita, aliran terus-menerus pikiran dan perasaan kita ke dunia di sekeliling kita.
            “saya meledak begitu saja,” kata tetangga saya yang biasanya menahan diri pada suatu hari. “ saya merasa seakan-akan saya tidak boleh mengatakn apapun tentang hal ini kepada John,  dan berkembanglah kekesalan  yang sesungguhnya antara kami. Sekarang kami berdua merasa jauh lebih baik.”
            Mungkin tidak pernah lebih sulit daripada di zaman sekarang untuk berbicara dari hati ke hati, walaupun demikian kita justru lebih memerlukannya daripada sebelumnya. Di dunia yang keberadaannya sangat menyedihkan seoerti sekarang ini, tempat kita harus bicara melintasi tembok penghalang ras dan kebangsaaan, kita memerlukan komunikasi untuk memahami orang-orang asing yang selalu harus kita hadapi; kita memerlukannya karena kita saling bertikai dengan orang lain sedemikian ruppa, dan rasa kebencian kita sangat merugikan. Sungguh, kesepian menusia modern begitu mengerikan hanya karena dia hidup di tengah-tengah banyak orang lainnya.
            Mengapa begitu sulit bagi kita untuk berkomunikasi? Pertama, karena kita tidak sama. Kalau saya menyebutkan politik, agama atau sex kepada orang lain, kata-kata yang tidak mengandung arti yang sama baginya seperti bagi sayam sebab masa kanak-kanaknya, lingkungan tempat tinggalnya, leluhurnya dan kepercayaannya berbeda dengan saya. Demikian pula, suami dan istri tidak bisa bicara dengan bahasa yang sama karena mereka dipisahkan oleh tahun-tahun yang mereka jalani – mungkin ketika kecil si suami hidup di perladangan Iowa sedangkan si isteri sebagai gadis tinggal di Brooklyn, terutama kita berbeda dalam hal pencerapan (persepsi) dan kesadarang, pada kedalaman batin yang timbul dari diri kita, dari apa yang kita hayati. Merupakan kebenaran bahwa orang tidak dapat berpikir melampaui seluruh pengalaman hidupnya, walaupun mereka ingin sekali melakukannya. Kita tidak bisa mendengar apa yang belum pernah diterima oleh pengalaman kita.
            Juga sulit sekali bagi kita untuk berkomunikasi, sebab kita berusaha membuat percakapan kita mengahasilkan sesuatu bagi kita, sesuatu yang sedikit sekali hubunbgannya dengan komunikasi. Kita berpura-pura bahwa kita menggunakan kata-kata untuk membangun jembatan antara diri kita dan orang lain; sesungguhnya, kita mencoba mendorong orang lain ke suatu tempat yang tidak diinginkannya , atau membuat ego kita penting. Bukankan kita tidak sabar menunggu orang lain berhenti bicara supaya kita bisa mengemukakan pendapat kita sendiri? Kita sebenarnya ingin mendengar; kita ingin mendapat kkesempatan untuk bicara.
            Kita juga tetap terpisah, sebab kita bersembunyi dari satu dengan lainnya. Kita bersembunyi karena kita bersikap memberla diri – defensif – dan takut. Kita takut jangan-jangan hati kita tersinggung, kepekaan kita terungkap. Apa yang akan dipikirkan orang lain tentang diri kita? Bagaimana kalau kita membocorkan cacat batin kita sendiri? Bagaimana kalau diri kita ditolak?
            Dengan demikian, maka kita hampir membuat seluk beluk citra yang kita kirimkan dan citra orang lain yang kita terima. Kita adalah bankir atau dokter, atau ibu rumah tangga atau guru, atau pemuda yang sedang mekar-mekanya, atau orang lanjut usia yang sudah loyo. Kita menyembunyikan diri kita di belakang wajah yang dikenal oleh publik ini, sementara eksistenti kita yang sesungguhnya tersembunyi di balik apa yang kita katakan dan kita lakukan. Dan, sebaliknya, kita juga berbucara kepada pribadi sebagaimana kita melihatnya, bukan pribadi yang sesungguhnya.
            Belum lama berselang, saya membicarakan masalah ini dengan Dr. leon Saul, seorang profesor psikiatri di Universitas Pennsylvania. Sementara kami berjalan ke ruangan kantornya, seorang perawat bayi lewat di balai besar mendorong kereta yang berisi cucunya yang baru berumur empat bulan. Saya tersenyum kepada si bayi, dan seketika perawatnya tersenyum kepada saya. ‘Ketahuilah,” kata Dr. Saul, “yang diketahuninya hanya cinta. Dia tidak punya alasan untuk merasa takut kepada orang yang tidak dikenalnya.” Tetapi demikian halnya dengan kebanyakan orang dewasa. Dr. Saul mengingatkan kepada saya bahwa orang dewasa punya banyak alasan untuk merasa takut. Barangkali selain mengenal cinta mereka juga telah mengenal penolakan. Mereka berdiam diri untuk melindungi dirinya, jangan-jangan hati mereka disakiti lagi.
            Sedikit sekali di antara kita yang tidak membangun perlindungan kecil denga kata-kata atau dengan kebisuan kita. Kita bisa bersembunyi di balik percakan kecil, di belakang basa-basi; di belakang istilah pengetahuan dan profesi kita; di belakang lelucon dan kegembiraan palsu ketika kita sedih; di belakang ketidakacuhan ketika kita sebenarnya merasa tertarik; atau kebencian palsu ketika kita sebenarnya mendambakan cinta.
            Dan betapa defenisif sikap kita ketika kita medengarkan! Seorang isteri kebetulan mengatakan bahwa dia kelelahan karena membersihkan rumah; suaminya menerima perkataan si isteri sebagai sindiran karena dia tidak cukup membantunya. Seorang suami memuji mwakan ibunya; isteri merasa bahwa si suai ingin sekali dia pandai memasak seperti ibunya. Tidak ada lagi yang lebih mengahalangi komunikasi daripada rasa takut dan sikap defensif.
            Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya>\? Kita bisa berusaha menjadi tipe individu yang tidak ditakuti orang untuk diaja bicara. Dan kita bisa memilih untuk membuat kita terkenal sebagai orang yang mendobrak penghalang yang memisahkan diri kita dari orang-rang di sekeliling kita.
            Tembok penghalang ini sebenarnya mudah sekali diruntukkan. Kita bisa mulai hanya dengan menjadi pendengar yang baik. Kedua, kita bisa berusaha memperluas jangkauan perhatian kita, sebab kita tidak bisa bicara kalau sedkit sekalai atau tidak ada yang bisa kita katakan. Para isteri kerap kali mengeluh bahwa suami mereka,ketik pulang ke rumah di waktu malam, tidak mau medengarkan obrolan tentang keadaan rumah pada siang harinya. Tetapi apakah orbrolan seperti itu sealalu ada gunanya didengarkan? Ketiga, kita bisa memperluas lingkungan orang-orang yang kita ajak berkomunikasi. Sungguh kecil dunia kalau hanya sedikit orang yang kita kenal. Salah satu cara untuk belajar berkomunikasi lebih baik adalah lebih sering berbicara dengan berbagai jenis orang.
            Di atas segala-galanya, kita harus mengatakan apa yang kita maksudkan. Pada zaman sekarang begitu banyak ditulis orang tentang bagaimana kita tidak boleh berbicara tentang diri kita sendiri. Tetapi jika kita dengan jujur salung membuka hati antara satu dengan yang lainnya, tanpa tujuan lain kecuali supaya bisa memahami dan dipahami, betapa segala-galanya akan dirubah! “Jangan biarkan siapapun menuliskan skenario Anda,” kata Dr. Abraham Maslow, profesor psikologi dari Universitas Brandeis. “Jadilah diri anda sendiri. Bersikaplah jujur . bersikaplah terus terang.”
            Komunikasi yang sesungguhnya dimulai ketika kita bukan hanya menerima orang lain, tetapi juga menerimanya dengan rasa gembira – walaupun dia mempunyai banyak kesalahan dan kelemahan. Pada saat-saat seperti itu, kehidupan dalam keadaan yang paling baik bagi kita semua. Kita telah memberikan sedikit sumbangan kepada dunia tempat orang memerlukan, lebih dari sebelumnya, karunia bisa berbicara antara yang satu dengan lainnya dalam rasa percaya dan pengertian.

_Salam_
Oleh: Ardis Whitman

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Subscribe